Teacher Preneur: Jadilah Guru Honorer Yang Inovatif
Sejak di sekolah dasar, kita diajari untuk memandang guru sebagai suatu profesi yang mulia dan terhormat. Begitu mulianya, hingga muncul sebuah pernyataan, bahwa guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa. Artinya, jiwa seorang guru dalam mencerdaskan generasi bangsa tidak mengharapkan imbalan lebih, tanpa pamrih, atas segala jasa-jasanya.
Ketika kita sudah dewasa, idealisme yang didengungkan kala masih duduk di sekolah dasar itu akan menemui paradoks–jujur saja. Di satu sisi, mendidik sepenuh hati memang menjadi acuan setiap guru, pun sebagai impian. Namun di lain sisi, realita sosial ekonomi terkadang menjadi tantangan tersendiri bagi para guru dalam mempertahankan keikhlasan mendidik.
Bagaimana mungkin seorang guru bisa dengan tenang ketika mengajar di kelas, ketika sepulangnya ia dari sekolah, ia menjumpai beras di rumahnya tinggal secangkir. Bagaimana mungkin seorang guru akan bisa menebar senyum kepada para muridnya, kala sepulang sekolah ia kebingungan bagaimana akan membayar biaya sekolah anaknya. Suka atau tidak suka, itulah sedikit dari realita kita saat ini.
Relalita tersebut bergulir dari waktu ke waktu, hingga membentuk pola–mengincar posisi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan tegas saya katakan, itu tidaklah salah. Guru yang berstatus ASN bergaji sangat layak, ditambah dengan tunjangan-tungangan, dan juga dana pensiun. Tidak perlu naif, semua guru layak mendambakan kehidupan seperti itu. Setiap guru berhak untuk bercita-cita menjadi ASN.
Akan tetapi yang saya sesalkan, sebagian guru memilih menunggu (hingga) menjadi ASN, bukan mengubah nasib agar memiliki taraf hidup yang serupa atau bahwan lebih dari ASN. Mengapa demikian? Marilah kita tilik sejenak. Banyak media memberitakan perihal guru honorer yang kecewa, di usianya yang semakin menua, ia tak kunjung diangkat menjadi ASN, padahal pengabdiannya sudah sangat lama. Kekecewaan itu menjadi indikasi apa yang saya sebut menunggu nasib.
Ayolah, saatnya kita berbenah. Bercita-cita menjadi guru ASN, boleh, tapi sekali lagi jangan menggantungkan diri, apalagi memiliki mindset satu-satunya cara hidup enak ialah menjadi ASN. Karena jika mindset itu kita miliki, kita hanya akan berkutat pada lubang pengharapan semu yang belum tahu kapan akan berakhir. Sebagai jalan tengahnya, apa yang kita tuntut dari murid-murid kita, tuntutlah itu kepada diri kita sendiri.
Apa itu? Kreatif dan inovatif
Lagi-lagi saya meyakini, setiap guru pasti pernah mengajak para muridnya seraya berharap agar mereka menjadi murid yang kreatif dan inovatif. Lalu jika kita bisa mengajak orang lain, mengapa tidak kita coba mengajak diri kita sendiri. Karena sebelum mengajak orang lain, sejatinya kitalah yang harus menjadi cahaya itu–sebagai inspirator.
Jangan mau jadi guru honorer yang biasa-biasa saja! Mulai sekarang tanamkan itu di benak kita. Jadilah guru honorer yang luar biasa–kreatif dan inovatif. Pertahankan prinsip guru sebagai ladang amal dan cita-cita mulia. Urusan ekonomi, kita cari jalan lain di luar profesi kita sebagai guru.
Sedikit pengalaman, selain guru honorer, saya juga seorang blogger, penulis, dan wirausahawan (masih merintis). Di luar jadwal mengajar di sekolah, waktu-waktu luang yang ada saya manfaatkan untuk menulis, baik di blog pribadi maupun media massa–dari sanalah pundi rupiah muncul. Tidak cukup menulis, kantin sekolah pun tak ingin kulewatkan untuk mencari pundi rupiah di sana. Ya, dengan menitipkan barang berupa makanan/minuman yang saya produksi sendiri.
Meski terbilang sederhana, dari penjualan produk saya di kantin sekolah, saya bisa memperoleh labah sekitar 500 ribu /bulan. Ditambah lagi penghasilan dari aktif menulis dan mengelola blog SEO. Cukup untuk hidup? Itu lebih dari cukup. Bisa dibilang, penghasilan di luar profesi sebagai guru justru lebih besar.
Capek? Tidak. Kok bisa? Bisa, karena menulis dan memasak (berjualan produk makanan dan minuman) merupakan hobby saya. Saat itu saya memiliki mindset; mulailah berbisnis dari bidang yang kita gemari. Jika bisnis belum jalan, kita tidak akan kecewa. Dan jika bisnis mulai berjalan kita akan dengan mudah mengembangkannya.
Akhirnya, di sekolah saya bisa mengajar dengan tenang. Wajah saya bisa tersenyum dengan indah memamandang para murid. Di rumah, beras-beras sudah tersedia. Apa yang menjadi kebutuhan besok hari, sudah tercukupi bulan-bulan sebelumnya.
Berikutnya kreatifitas dan inovasi dibutuhkan untuk menaikan prosentasi penjualan. Jika ada orang berjualan air mineral di acara wisuda itu biasa. Tapi jika kita berjualan air mineral dengan kreatif dan inovatif di acara wisuda itu akan beda. Misalnya, sebelum dijual, air mineral terlebih dahulu diselotip dengan bunga. Dan pada satu sisi botolnya, kita beri stiker ucapan selamat, itu akan lebih menarik. Tidak cukup sampai di situ, meski kita menaikan harganya 2X lipat, tidak akan menjadi masalah, karena air itu akan diberikan kepada orang tersayang. Itu kelebihannya.
Pernah saya praktikkan? Tidak sih, hehe. Itu analogi ringan saja sebagai analisis usaha. Berikutnya kembali ke pribadi masing-masing untuk belajar dan mengembangkan tantangan sebagai teacher preneur. Semoga menginspirasi!
Posting Komentar untuk "Teacher Preneur: Jadilah Guru Honorer Yang Inovatif "